Minggu, 23 Juli 2017

Apakah Belajar Bahasa Inggris itu Tidak Nasionalis?

“Kenapa sih harus bisa Bahasa Inggris? Kan nggak nasionalis”. Ungkapan itu sangat sering saya dengar ketika seseorang dihadapkan pada kenyataan bahwa bahasa inggris memang sangat penting di era global. Ungkapan ‘nggak nasionalis’ ini punya efek yang cukup luar biasa loh. Pernah beberapa waktu lalu teman serombel saya di jurusan Bahasa dan Sastra inggris, menerima penolakan gara-gara dia dianggap tidak nasionalis. Sebut saja teman saya si ‘E’, dia ini sedang cari tempat untuk KKN (Kuliah Kerja Nyata) dengan beberapa teman di kelompoknya. Tibalah dia di desa ‘G’. Setibanya disana, si E dan teman-teman menemui perangkat desa guna memaparkan program kerja yang akan diterapkan di desa tersebut. Salah satu program kerja yang diampu si E adalah pembelajaran bahasa Inggris bagi anak-anak di desa itu. Tapi, kemudian Pak Kades di desa G menolak keras program kerja yang berbau bahasa inggris karena dianggap tidak nasionalis. 

Lalu, apakah benar dengan kita belajar dan berbicara bahasa Inggris menjadikan kita tidak nasionalis?

Rasa nasionalisme dan cinta tanah air memang sangat-sangat penting. Kalau tidak ada rasa nasionalis, tidak ada yang namanya negara. Indonesia dilahirkan dari perasaan nasionalis para pendiri bangsa yang dengan segenap hati dan jiwa berkorban demi terwujudnya cita-cita untuk hidup bebas di tanah kelahiran. Rasa cinta tanah air memang harus terus dijaga. Sekarang, ketika Indonesia sudah merdeka, perjuangan bangsa sudah tidak lagi menggunakan bambu runcing. Inilah saatnya kita mengukir prestasi dan unjuk gigi di mata dunia agar Indonesia diakui. Sebagai generasi muda, banyak hal yang bisa kita lakukan salah satu yang paling banyak dilakukan adalah mengikuti forum-forum pemuda tingkat internasional. Dengan mengikuti kegiatan berskala internasional, kita bisa mengukuhkan posisi bangsa kita loh. Kita nanti akan dilihat dan dinilai oleh orang dari bangsa lain bagaimana cara kita mengemukakan ide-ide demi kemajuan bersama. Di sana kita juga mempromosikan Indonesia agar banyak turis yang datang berkunjung. Kita juga bisa membangun relasi internasional, yang memungkinkan terbukanya kerja sama antarnegara dalam berbagai bidang di masa depan. Nah, untuk melakukan itu semua, kita perlu berkomunikasi dengan baik kan? Dalam berkomunikasi, kita pakai bahasa kan? Terus saya ingin tanya apakah kiranya orang-orang dari negara lain itu sudah pasti bisa berbahasa Indonesia?

Tidak.

Sudah pasti masyarakat global harus punya cara demi terciptanya komunikasi yang baik menggunakan suatu bahasa yang secara umum disepakati sebagai bahasa pemersatu global. Nggak usah secara global dulu deh, masyarakat Indonesia saja dengan beragam suku dan bahasa akan kesulitan untuk komunikasi satu sama lain kalau tidak menggunakan bahasa pemersatu kita yaitu bahasa Indonesia. Lalu apa yang salah dengan belajar bahasa pemersatu global saat ini, yaitu bahasa Inggris? Bukankah itu sama saja ketika kita belajar bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dengan orang dari suku lain? Seandainya saja masyarakat dunia tidak punya bahasa pemersatu, kita mau ngomong pakai apa? Bahasa isyarat? Bukannya saya ingin merendahkan seserang yang berkomunkasi dengan  menggunakan bahasa isyarat karena keterbatasan mereka atau bahasa isyarat itu sendiri. Bahasa isyarat lahir untuk memenuhi kebutuhan orang-orang dengan keterbatasan tertentu. Tapi kalau kita dikaruniai kesehatan dari Tuhan YME, kenapa tidak kita manfaatkan untuk belajar? Lha wong sekarang mereka yang memiliki keterbatasan saja semangat belajar kok, kita tidak mau belajar sih hanya gara-gara pemikiran sempit “tidak nasionalis” itu. Ya, kecuali Anda cukup kaya untuk menyewa seorang interpreter kemanapun Anda pergi, oke saya nyerah berargumen karena saya bukan orang berduit.
Kembali lagi ke masalah nasionalis tadi. Saya cinta bahasa Ibu saya, Jawa, dan bahasa Indonesia. Saya juga sangat cinta budaya dan tradisi Indonesia. Banyak juga loh orang Amerika atau Australia yang ingin belajar bahasa dan budaya negeri kita. Kita tentu bangga dong karena memperkenalkan bahsa kita ke orang lain. Tapi gini, apakah mungkin seorang guru yang mengajar bahasa Jawa/Indonesia akan sepenuhnya menggunakan kedua bahasa tersebut di saat mengajar? Apakah murid-muridnya akan mudeng? Kan mereka baru mau belajar. Solusinya? Ya harus menguasai bahasa pengantar lain saat mengajar, dalam hal ini adalah bahasa Inggris. kalau sudah begitu, apakah guru yang menggunakan pengantar bahasa inggris untk mengajarkan bahasa Indonesia itu masih dianggap tidak nasionalis?

Pandangan sempit terbukti berbahaya loh. Contoh yang paling terkenal adalah pada Adolf Hitler. Hitler sangat nasionalis dan loyal terhadap bangsa dan negaranya, sampai-sampai menganggap bahwa bangsa Jerman adalah bangsa terunggul di dunia. Tapi lihat apa yang dilakukan Hitler, bukannya mengajak bangsanya untuk belajar dan meningkatkan kualitas agar dapat bersaing dengan bangsa lain, dia justru menyingkiran semua bangsa non-Jerman yang pada saat itu dianggap lebih pintar dan bisa mengancam eksistensi bangsa Jerman. Hasilnya? Ambisi Hitler justru runtuh ketika Jerman kalah di Perang Dunia II.

Belajar dari itu semua, cinta tanah air memang sangat penting, namun jangan sampai membawa pemahaman sempit ke diri kita. Dunia terlalu luas untuk kita fikir bahwa bangsa atau budaya kitalah yang paling baik. Namun kita juga perlu mengukuhkan identitas bangsa kita dengan sikap fleksibel tersebut. Masih banyak lagi peran-peran yang dapat dimainkan oleh masyarakat Indonesia di kancah global. Tapi sebelum itu, mari kita tingkatkan kualitas diri sendiri dulu dengan banyak belajar. Belajar boleh apa saja kok asal bermanfaat.

Semoga bermanfaat ...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar